Sabtu, 06 Oktober 2012

t-ta universitas paramadina

T-ta Universitas Paramadina kembali Raih Penghargaan


Paramadina kembali menggebrak dunia kali ini melalui grup tari T-ta Universitas Paramadina, mempersembahkan  11 tarian diantaranyaTari Giring-Giring, Enggang (Kalimantan), Gandrung, Asmara, dan Gopala (Bali)  pada acara Dubai Shopping Festival (DSF) 2012.
Tarian tradisional maupun kontemporer lainnya yang ditampilkan adalah Tari Sayur Asem, Lenggang Nyai (Betawi), Piring Cupak, Piring Sofyani, Galombang, Rantak (Minang),Bajidor Kahot (Sunda), Pesta Perang (Papua), Gambir Anom (Jawa Tengah), Topeng Kelana (Cirebon), Tanggai (Sumatera Selatan) serta Tari Melayu (Kepulauan Riau).
Keterlibatan grup T-ta Universitas Paramadina dalam DSF 2012 tersebut atas undangan resmi dari pemerintah Dubai melalui Dubai Events and Promotion, yang merupakan penyelenggara serta penanggung jawab DSF. Institusi ini bernaung di bawah The Department of Economic Development pemerintah emirat Dubai,demikian keterangan pers Konsul Pensobud KJRI Dubai Adiguna Wijaya, Jumat (6/1/2012).
Pada malam pembukaan festival yang berlangsung di Al Seef Street di daerah Dubai Creek, Dubai (5/1/2012), Indonesia mendapat kehormatan menjadi penampil pembuka diantara para peserta asing dari belasan negara lainnya. Selama 32 hari penyelenggaraan DSF 2012 dari 5 Januari hingga 5 Februari 2012, grup T-ta Universitas Paramadina menghibur publik Dubai sebanyak 3 kali episode pertunjukkan setiap harinya di berbagai tempat pertunjukkan yang telah ditetapkan oleh panitia.
Tempat-tempat itu yakni bazaar dan panggung hiburan di Al Seef Street (Dubai Creek), Al Riga Street dan Emaar Boulevard, Festival Promenade-Dubai Festival City, maupun di arena Global Vilage, sebuah ajang tahunan pameran dan penjualan aneka produk yang menampilkan para pengusaha dari berbagai negara di seluruh dunia.
Festival ini merupakan bagian dari strategi pemerintah Dubai untuk mempromosikan Dubai di kalangan internasional. Selama penyelenggaraan DSF 2012 sebagian besar pusat perbelajaan di Dubai akan beroperasi hingga tengah malam setiap harinya serta akan ada ratusan pertunjukan musik, tarian dan atraksi lainnya.
Tahun lalu (2011), DSF berhasil menyedot kehadiran sekitar 884.660 pelancong asing dari berbagai penjuru dunia dan kawasan Timur Tengah, serta 3,1 juta warga UAE sendiri. DSF 2011 telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian Dubai hingga mencapai Dhs. 15,1 miliar atau sekitar US$ 4,14 miliar.
Konsul Jenderal RI Dubai Mansyur Pangeran dan staf turun langsung ikut menyemangati dan menyaksikan penampilan perdana grup T-ta Universitas Paramadina. Acara pembukaan DSF berlangsung meriah dan dipadati warga setempat dan pelancong asing. Acara pembukaan berlangsung spektakuler dengan pesta kembang api di langit kota Dubai sepanjang 6 kilometer dan berdurasi sekitar 5 menit lamanya yang ditempatkan di sepanjang sisi Dubai Creek, termegah selama 17 tahun pelaksanaan DSF.
Dalam kesempatan ramah-tamah dengan seluruh anggota grup T-ta, Konjen menyampaikan sertifikat Piagam Penghargaan yang berlangsung pada tanggal 31 Januari 2012, bertempat di Ruang Serbaguna KJRI Dubai, diserahkan langsung oleh Konjen RI Mansyur Pangeran, dan dihadiri oleh seluruh Staf KJRI Dubai. Sebelas penari grup T-ta Paramadina penerima Sertifikat Piagam Penghargaan tersebut adalah Eko Saputra, Hadi Sadikin Rachmat, Edison, Rifky Andhika, Rian Pri, Ayu Astria Riesnata Atmaja, Raeny Juliana Raimond, Farah Aini Astuti, Meiyorisa Sunia, Diannitha Phobe, dan Keken Frita Vanri.
"Undangan pemerintah Dubai bagi Indonesia untuk berpartisipasi pada pentas budaya berbagai bangsa selama DSF 2012 merupakan wujud apresiasi dan minat pemerintah serta warga Dubai akan budaya Indonesia," ujar Konjen.
Melalui partisipasi ini, imbuh Konjen, diharapkan dapat lebih memperkenalkan keberagaman budaya Indonesia dan mendorong peningkatan citra Indonesia yang lebih positif di Dubai, sertamenjadi momentum untuk lebih mendekatkan masyarakat kedua negara.
"Penampilan ini kita harapkan jugadapat lebih menggugah minat dan ketertarikan warga Dubai dan sekitarnya untuk mencari informasi lebih jauh mengenai Indonesia lalu berkunjung ke Indonesia," demikian Konjen.
Penampilan grup tari T-ta Universitas Paramadina mendapat sambutan hangat dan meriah dari publik Dubai. Seusaipertunjukan, mereka berebut ingin berfoto bersama para penari yang mengenakan kostum indah tradisional Indonesia.
Publik mengungkapkan suka citanya dapat menyaksikan penampilan tim kesenian Indonesia dan menyatakan bahwa dengan penampilan ini mereka menjadi lebih mengetahui salah satu sisi budaya Indonesia dan tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai Indonesia.
T-ta Universitas Paramadina merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta, yang berdiri sejak Februari 2009 dan mengkhususkan diri di bidang kesenian tarian tradisional Indonesia.Saat ini keanggotaan T-ta telah mencapai 55 orang mahasiswa.
Sebelumnya T-ta secara internasional pernah pula tampil dalam ajang XVIII Festival Folklore et Partage Montreal de Aude di Saint Girons dan Festival Mondial de Folklore de Montrejeau, Prancis (2011),Festival RITE 2011 di Valle de Aran, Spanyol, sertaWalk Folk Review Integration Festival di Poznan dan IIF Folk Festival WarsFolk di Warsawa, Polandia (2010).

Rektor Universitas Paramadina

Anies Baswedan



Informasi pribadi
Lahir Anies Rasyid Baswedan
Pekerjaan Rektor Universitas Paramadina
Anies Rasyid Baswedan Ph.D., (lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969; umur 43 tahun[1]) adalah intelektual asal Indonesia.
Pada 2005, Anies menjadi direktur riset pada The Indonesian Institute.[2] Kemudian pada 2008, ia mendapat anugerah sebagai 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi Majalah Foreign Policy dari Amerika Serikat.[3] Pada tahun yang sama, di usia muda (38 tahun) ia menjadi rektor Universitas Paramadina.[4] Meskipun lahir di Kuningan, Jawa Barat, Anies menghabiskan masa kecil hingga kuliahnya di Yogyakarta.[1]

Karier dan Kehidupan

Masa kecil

Anies dan keluarganya tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman Baswedan (AR Baswedan).[1] Kakeknya adalah seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) dan anggota konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat).[1]
Kedua orang tua Anies adalah dosen, Rasyid Baswedan, ayah Anies, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara Aliyah Rasyid, ibu Anies, adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.[1]
Anies memulai pendidikan formalnya menjelang usia lima tahun.[1] Ia masuk ke sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta.[rujukan?] Kemudian, memasuki usia enam tahun Anies dimasukkan ke SD Laboratori Yogyakarta.[1] Anies melanjutkan masa SMP-nya di SMP Negeri 5 Yogyakarta.[1] Kemudian, Anies melanjutkan masa SMA-nya di SMAN 2 Yogyakarta.[rujukan?] Anies menjalani masa SMA selama 4 tahun pada 1985-1989 karena terpilih sebagai peserta dalam program AFS.[1] Anies mengikuti program pertukaran pelajar AFS Intercultural Programs, yang di Indonesia diselenggarakan oleh Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat (1987-1988).[1]

Jiwa kepemimpinan

Sejak kecil Anies sudah akrab dengan dunia organisasi dan kepemimpinan.[rujukan?] Ketika usianya baru 12 tahun, Anies membentuk kelompok anak-anak muda (7-15 tahun) kampungnya yang diberi nama 'Kelabang' (Klub Anak Berkembang).[1] Mereka kemudian membuat seragam lengkap dengan tulisan 'Kelabang' dan gambar binatang kelabang (lipan), dan mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian.[1]
Ketika SMA, Anies pernah menjadi ketua OSIS se-Indonesia ketika ia mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta pada September 1985.[1] Ia menjadi ketua untuk 300 delegasi SMA-SMA se-Indonesia.[rujukan?] Saat itu Anies baru berada di kelas satu.[1]

Dari aktivis hingga rektor


Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989-1995)[1], dia aktif di gerakan mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM.[1] Sewaktu menjadi mahasiswa UGM, dia mendapatkan beasiswa Japan Airlines Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia di Tokyo, Jepang.[rujukan?]
Setelah lulus kuliah di UGM pada 1995, Anies bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi di UGM.[2] Kemudian, Anies mendapatkan beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master Bidang International Security and Economic Policy di Universitas Maryland, College Park.[rujukan?] Sewaktu kuliah, dia dianugerahi William P. Cole III Fellow di Maryland School of Public Policy, ICF Scholarship, dan ASEAN Student Award.[2] Pada 2005, Anies menjadi peserta Gerald Maryanov Fellow di Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois sehingga dapat menyelesaikan disertasinya tentang "Otonomi Daerah dan Pola Demokrasi di Indonesia".[rujukan?]
Ketika berada di Amerika Serikat, Anies aktif di dunia akademik dengan menulis sejumlah artikel dan menjadi pembicara dalam berbagai konferensi.[1] Ia banyak menulis artikel mengenai desentralisasi, demokrasi, dan politik Islam di Indonesia.[5] Artikel jurnalnya yang berjudul "Political Islam: Present and Future Trajectory" dimuat di Asian Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas California.[5] Sementara, artikel Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and The Future of Democracy diterbitkan oleh BIES, Australian National University.[6]
Sepulang ke Indonesia, Anies bekerja sebagai National Advisor bidang desentralisasi dan otonomi daerah di Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta (2006-2007).[7] Selain itu pernah juga menjadi peneliti utama di Lembaga Survei Indonesia (2005-2007).[7]
Pada 15 Mei 2007, Anies Baswedan dilantik menjadi rektor Universitas Paramadina.[1] Anies menjadi rektor menggantikan posisi yang dulu ditempati oleh cendekiawan dan intelektual Muslim, Nurcholish Madjid, yang juga merupakan pendiri universitas tersebut.[8] Saat itu ia baru berusia 38 tahun dan menjadi rektor termuda di Indonesia.[4][8]

Intelektual Dunia

Majalah Foreign Policy memasukan Anies dalam daftar 100 Intelektual Publik Dunia.[9] Nama Anies Baswedan tercantum sebagai satu-satunya orang Indonesia yang masuk pada daftar yang dirilis majalah tersebut pada edisi April 2008.[9] Anies berada pada jajaran nama-nama tokoh dunia antara lain tokoh perdamaian, Noam Chomsky, para penerima penghargaan Nobel, seperti Shirin Ebadi, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen, serta Vaclav Havel, filsuf, negarawan, sastrawan, dan ikon demokrasi dari Ceko.[4] Sementara, World Economic Forum, berpusat di Davos, memilih Anies sebagai salah satu Young Global Leaders (Februari 2009).[rujukan?]
Kemudian, pada April 2010, Anies Baswedan terpilih sebagai satu dari 20 tokoh yang membawa perubahan dunia untuk 20 tahun mendatang versi majalah Foresight yang terbit di Jepang akhir April (2010).[10] Dalam edisi khusus yang berjudul “20 Orang 20 Tahun”, Majalah Foresight menampilkan 20 tokoh yang diperkirakan skan menjadi perhatian dunia. Mereka akan berperan dalam perubahan dunia dua dekade mendatang.[10] Nama Anies disematkan bersama 19 tokoh dunia lain seperti Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Menlu Inggris David Miliband, anggota Parlemen dan Sekjen Indian National Congress India Rahul Gandhi, serta politisi muda Partai Republik dan anggota House of Representative AS, Paul Ryan.[10]
Majalah bulanan berbahasa Jepang itu menilai bahwa Anies adalah tokoh yang merupakan salah satu calon pemimpin Indonesia masa mendatang.[10]
Anies adalah seorang muslim moderat yang sampai saat ini tetap konsisten pada pendiriannya untuk tidak memihak pada kekuatan (politik) tertentu.[10]
Pada Pemilu 2009, Anies menjadi moderator dalam acara debat calon presiden 2009.[11] Pada akhir 2009, Anies dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi anggota Tim-8 dalam kasus sangkaan pidana terhadap pimpinan KPK yaitu Bibit dan Chandra.[12] Anies, yang bukan berlatar belakang hukum, dipilih menjadi Juru Bicara Tim-8.[rujukan?] Penyampaiannya yang sistematis, tenang dan obyektif dianggap turut membantu menjernihkan suasana dalam suhu politik yang agak memanas pada masa itu (Tim-8 bekerja non-stop selama 2 minggu di bulan November 2009).[12][12]

Keluarga


AR Baswedan, kakek Anies Baswedan
Anies adalah cucu dari AR Baswedan, salah seorang pejuang pergerakan nasional dan pernah menjadi Menteri Penerangan pada masa awal kemerdekaan Indonesia.[13]
Anies adalah anak pertama dari pasangan Drs. Rasyid Baswedan, S.U. (Dosen Fak Ekonomi Universitas Islam Indonesia) dan Prof. Dr. Aliyah Rasyid, M.Pd. (Dosen Fak. Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta).[1]
Ia menikah dengan Fery Farhati Ganis, S.Psi., M.Sc. dan dikaruniai empat anak: Mutiara Annisa (sulung), Mikail Azizi (kedua), Kaisar Hakam (ketiga), dan Ismail Hakim (bungsu).[1] Mereka bertempat tinggal di daerah Lebak Bulus di Jakarta.[13]

Pemikiran

Pendidikan Tinggi

Perihal pendidikan tinggi, menurut Anies, hubungan mahasiswa dan perguruan tinggi bukanlah hubungan transaksional komersial.[rujukan?] Sebuah perguruan tinggi tidak boleh memandang dirinya sebagai penjual jasa pendidikan dan memandang mahasiswa sebagai pembelinya.[4] Pendidikan tinggi di Indonesia seharusnya dipahami oleh pelakunya sebagai pendorong kemajuan bangsa dan memosisikan mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan).[4] Anies menganggap bahwa pemuda inilah yang akan menggantikan peran generasi tua pada masa depan.[4]
Dalam hal pengelolaan pendidikan, Anies berpendapat bahwa hal tersebut memang mahal.[14] Baginya, ini merupakan tantangan bagi pimpinan institusi pendidikan untuk kreatif membuat alternatif model-model pendanaan, baik dari pemerintah maupun swasta.[14]
Sebagai seorang akademisi, bagi Anies, pendidikan harus ditunjang oleh kemandirian dalam pembiayaan pendidikan itu adalah suatu keniscayaan.[14] Di awal mungkin perguruan tinggi memang perlu dibiayai pemerintah, tetapi dalam perjalanan selanjutnya harus dapat mandiri.[rujukan?] Bahkan, dalam hal ini, Anies menyatakan bahwa perguruan tinggi harus mampu menerjemahkan bahasa pengelolaan pendidikan dalam bahasa pengelolaan bisnis modern.[14]
Pada 2008, Ia merintis Program Beasiswa di Universitas Paramadina bernama Paramadina Fellowship.[4] Program ini mengadopsi konsep yang biasa digunakan di universitas-universitas di Amerika Utara dan Eropa dengan menyematkan nama sponsor sebagai predikat penerima beasiswa.[4]
Jika mahasiswa A mendapat beasiswa dari institusi B, yang memang menjadi salah satu sponsor, di belakang nama mahasiswa dicantumkan nama sponsor, menjadi A, Paramadina, Institusi B Fellow. Sebagai contoh Andi, Paramadina Adaro Fellow.[4] Predikat itu wajib digunakan dalam berbagai publikasi dan tulisan.[4]
Anies mengakui bahwa kunci keberhasilan sebuah perguruan tinggi adalah menerima yang terbaik (admit for the best).[8] Selain itu, bagi Anies, lulusan perguruan tinggi yang baik adalah bukan yang setelah lulus berlomba membuat CV (curriculum vitae) sebagus mungkin.[8] Baginya, mahasiswa harus dapat membuat proposal bisnis ketika lulus.[rujukan?] Harapannya, mereka bukan mencari pekerjaan kelak tetapi akan membuka lapangan pekerjaan.[8]

Kemampuan Menulis dan Bahasa Internasional

Menurut Anies, mahasiswa memiliki tiga karakter utama, yakni intelektualitas, moral dan ke-oposisi-an.[15] Selama ini, dua karakter terakhir sudah dapat dikatakan tuntas.[15] Timbulnya pergerakan organisasi-organisasi mahasiswa menunjukkan karaker oposisi mahasiswa.[rujukan?] Meski kadang terlihat anarkis, tetapi mahasiswa telah mengerti batasan-batasan moral yang harus dijaga.[15] Akan tetapi, karakter pertama, intelektualitas, masih belum dihayati. Implementasi karakter tersebut adalah kemampuan menulis dan berbahasa internasional.[15]
Anies menegaskan bahwa dalam satu waktu, seseorang bukan hanya warga sebuah negara, tetapi juga menjadi "warga dunia".[16] Dengan kesadaran menjadi ”warga dunia” , mahasiswa dapat melihat ke depan.[16] Menurut Anies, kompetitor mahasiswa Indonesia bukanlah mahasiswa lain dari perguruan tinggi terkemuka di Tanah Air[16], tetapi mahasiswa-mahasiswa yang merupakan lulusan Melbourne, Amerika Serikat, Tokyo, dan lain-lain yang memiliki kemampuan bahasa, ilmu pengetahuan, dan jaringan internasional luas.[15] Menurutnya saat ini harus ada kesadaran melampaui Indonesia, beyond Indonesia.[16]
Dalam dunia akademik yang kompetitif seperti itu, maka kemampuan menulis menjadi perlu.[15] Penyampaian ide dalam bentuk tulisan akan berharga sekali.[rujukan?] Bahkan, menurut Anies, dalam membangun peradaban, kemampuan menulis menjadi fundamental.[15] Selain itu, kemampuan berbahasa internasional akan membantu mahasiswa untuk menyampaikan ide-idenya.[rujukan?] Di era globalisasi ini, akumulasi pengetahuan jangan sampai sia-sia hanya karena dua syarat itu diabaikan.[15]

Optimisme Bangsa

Menurut Anies, sikap optimistis perlu diambil dalam memandang bangsa Indonesia.[16] Optimisme seharusnya menjadi prioritas bagi generasi muda Bangsa Indonesia.[rujukan?] Menurutnya, pemuda Indonesia telah mengawalinya ketika terselenggara Konferensi Pemuda II, 28 Oktober 1928.[17] Keputusan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah keputusan jenius.[rujukan?] Oleh karena itu, banyak urusan bangsa menjadi sederhana karena bahasa tersebut dapat diterima seluruh rakyat.[17]
Anies menyatakan bahwa bagaimanapun kondisinya, bangsa ini harus disikapi dengan kritis dan optimistis.[17] Selain itu, para pemuda perlu fokus pada inspirasi tentang kemajuan bukan cerita masa lalu.[rujukan?] Pandangan yang perlu dijadikan prioritas adalah bahwa bangsa Indonesia perlu memiliki perasaan kolektif positif untuk maju dan berkembang.[rujukan?] Pesimisme seharusnya dikubur, lalu munculkan optimisme.[17]
Realitas bangsa, menurut Anies, seharusnya dipandang dengan sudut pandang optimisme. Meskipun demikian, media perlu menggandakannya agar menjadi optimisme kolektif seluruh elemen bangsa.[16] Jangan sampai semangat optimisme itu dikalahkan oleh budaya korupsi.[16] Anies menegaskan bahwa janji kemerdekaan telah dilunasi oleh pendahulu bangsa.[17] Bangsa Indonesia harus bekerja lebih keras untuk melunasi janji kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia.[17]

sejarah paramadina




Universitas Paramadina adalah sebuah institusi pendidikan tinggi yang bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, ketajaman nalar, kecakapan berkarya, keluasan wawasan dan kemandirian jiwa.

Pada tanggal 4 Desember 1994, dua yayasan, Yayasan Wakaf Paramadina dan Yayasan Pondok Mulya, yang masing-masing bergerak di bidang pendidikan dan berorientasi pada nilai-nilai Islam, sepakat untuk bekerja sama dan berencana mendirikan perguruan tinggi. Kesepakatan tersebut diwujudkan dengan didirikannya Yayasan Paramadina-Mulya yang dikukuhkan di hadapan Notaris Harun Kamil, No. 188 tanggal 27 Februari 1995. Sejak saat itu gagasan untuk mendirikan universitas mulai dikembangkan. Rangkaian diskusi yang diikuti oleh pengurus yayasan, kelompok Yayasan Isnet, kelompok BATAN, kelompok LIPI, dan pribadi-pribadi yang mencurahkan harapan dan gagasan tentang universitas yang hendak didirikan menyarankan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
  1. Universitas yang akan didirikan hendaknya memberikan kontribusi pada penyempurnaan atau peningkatan model perguruan tinggi yang sudah ada.
  2. Universitas tersebut sebaiknya hanya membuka program studi ilmu-ilmu yang sedang berkembang menuju ilmu masa depan, yaitu “Engineering Science” atau Ilmu Rekayasa.
  3. Universitas hendaknya mementingkan riset sebagai upaya menyeimbangkan dan meningkatkan mutu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  4. Universitas hendaknya mementingkan riset sebagai upaya menyeimbangkan dan meningkatkan mutu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  5. Universitas sejak awal agar membuka program pascasarjanya, yang berorientasi pada riset.
  6. Universitas hendaknya menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian yang diperlukan oleh bangsa Indonesia, yaitu yang beriorientasi pada riset, semangat kewirausahaan dalam pengembangan industri kerekayasaan dan jasa yang menjiwai etika keislaman.
  7. Universitas agar merupakan wahana pusat kebudayaan dan peradaban bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Oleh karena itu kampus universitas perlu menyediakan fasilitas yang mendorong berlangsungnya kegiatan segala aspek kehidupan agar sivitas akademika dapat mengekspresikan dirinya dalam wujud yang paling bermutu.
  8. Universitas agar dapat mengembangkan kepribadian, seperti diharapkan oleh tujuan pendidikan dalam undang-undang sistem pendidikan.
  9. Universitas harus memenuhi fitrahnya sebagai universitas yang universal, sehingga mampu menyebut dirinya bertaraf internasional.
Harapan-harapan tersebut di atas dirumuskan dalam gagasan dasar universitas sebagai berikut:
  1. Universitas secara internasional mendapat pengakuan dari Dunia Akademik dan bisnis dengan orientasi nilai-nilai dan peradaban Islam.
  2. Universitas lebih memfokuskan pada pengembangan program studi ”engineering science” dengan disiplin ilmu yang mampu menyongsong perkembangan masa depan di samping program studi ilmu-ilmu sosial dan falsafah yang mendukung program studi tersebut.
  3. Universitas diharapkan dapat menawarkan alternatif model perguruan tinggi, dalam rangka peningkatan mutu, relevansi dan efektivitas pendidikan.
  4. Universitas dapat berkembang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban, sebagai tempat persemaian manusia baru Indonesia.
Untuk merealisasikan gagasan tersebut, maka pada tanggal 10 Januari 1998 diresmikan berdirinya Universitas Paramadina-Mulya.
Pada tanggal 20 Maret 2002 dengan Akta Notaris Harun Kamil, SH. No. 20 A, Yayasan Paramadina-Mulya dibubarkan dan kepemilikan serta pengelolaan Universitas Paramadina-Mulya diserahkan kepada Yayasan Wakaf Paramadina. Sebagai tindak lanjut penyerahan kepemilikan dan pengelolaan tersebut, Yayasan Wakaf Paramadina dengan surat keputusan no. SK-010/DP-YWP/X/2002 tanggal 15 Oktober 2002 mengubah nama Universitas Paramadina-Mulya menjadi Universitas Paramadina. Program Paramadina Fellowship yang mulai digulirkan tahun 2008 berhasil mendongkrak citra universitas dengan masuknya mahasiswa-mahasiswa berprestasi dari seluruh penjuru tanah air.
.